Aku mengenalmu pertama kali ketika kami masih berpakaian putih abu-abu, dan berlanjurt di tingkat kuliah. Aku masih teringat sinar matamu saat aku memasuki kelasmu, dan kamu mengajak kami dan teman-temanmu memanfaatkan waktu kalian di sela waktu luang dalam sebuah majlis ilmu. Kajian jum’at, yang rutin ku jalankan bersama teman-teman akhwatku di rohis.
Sayangnya, sepertinya teman-temanmu tidak begitu merespon, mereka lebih suka menghabiskan waktunya dengan bergosip dan hal-hal yang tidak bermanfaat, tapi kamu berbeda. Kamu terlihat istimewa. Kamu datang, dengan wajah penuh riang. Dik, sampai sekarang aku masih ingat senyuman yang tak penah lepas dari wajahmu.
Senyuman yang dapat menghilangkan segala penat dan lelahku karena tugas-tugas yang menumpuk, program kerja di rohis yang begitu padat, rapat-rapat dan pertemuan yang begitu melelahkan. Tapi kamu…, yah kamu tetap riang dan seolah mengajarkan kami kakak-kakakmu untuk tetap semangat dan menikmati dunia dengan riang.
Kamu semakin dekat pada kami, kamu begitu mudah menyerap segala pengetahuan yang kami berikan kepadamu. Kamu cerdas dik. Mungkin karena belajar dengan hati, kamu begitu mudah menerima kebaikan. Kamu hanif dik, hatimu begitu lembut dengan kebenaran… Allahu akbar, aku malu dik saat menyadari betapa banyak kesombongan di hati ini, tak seperti kau yang sangat bersahaja.
Aku mulai menyadari, dirimu sangat berbeda dengan teman-temanmu. Kamu begitu dekat dengan kami, senior-seniormu, bahkan sangat manja, berbeda dengan teman-temanmu yang cukup segan kepada kami. Tapi aku suka sifatmu dik, aku seolah memiliki adik baru. Kamu sangat perhatian pada kami, terutama padaku. Itu yang ku rasa dulu, setiap di sela jam istirahat, kamu pasti selalu membawa coklat untukku, dan berbisik padaku:
“Kak, jangan bilang sama kak iva yah, aku cuma kasih kakak. He he he.” Katamu dengan wajah penuh rahasia. Aku tertawa, menyambutnya juga dengan wajah tak kalah licik. Ha ha ha ( mb.iva mungkin kamu ingat itu…lucunya adik kita yang satu ini.
Tapi ternyata aku salah, kau melakukan hal yang sama pada mb.iva juga. Kami tertipu, tetapi kami tetap senang. Begitulah caramu membuat kami merasa begitu kamu cintai. Allah, begitu banyaknya dia mengajari kami.Hari itu kamu mendatangiku, dengan wajah penuh semangat lebih dari biasanya. Kamu bertanya kepadaku:
“Kak, aku mau kayak kakak. Menutup aurat dengan sempurna.” Allahu Akbar ! aku menyambut dengan begitu bahagia. Aku sampaikan pada uphi, Hilda dan ade, serta akhwat-akhwat yang lainnya. Mereka merespon dengan begitu bahagia. Kau memintaku menemanimu membeli kain, tentu saja aku mau. Subhanallah, bahagianya hatiku saat itu. Serasa tiada hari terindah melebihi ketika aku pergi bersamamu pada hari itu.
Beberapa hari kemudian kamu datang dengan wajah cemas. Katamu, keluargamu tidak senang dengan perubahanmu, bahkan mereka pernah menyembunyikan jilbabmu. Kamu pun kini ragu dengan pilihanmu. Aku mencoba meyakinkanmu bahwa Allah lah sebaik-baik penolong. Tak ka nada yang bisa menyakitimu dalam lindungan-Nya. Kamu menangis.
Kemudian aku mengajakmu ke mushola. Kita shalat dhuha, dan selesai shalat kamu berkata mantap, “Aku mantap untuk memakainya kak.” Subhanallah, ya Allah, Engkau penguasa hati makhluk-Mu…
Keesokan harinya, kamu dengan jilbab lebarmu, dengan wajah yang sangat berbahagia. Aku memeluk dan menciummu dengan penuh sayang. Aku mencubit pipi tembemmu yang besemu merah, semua akhwat memelukmu dengan bahagia, ahlan wa sahlan yaa ukhti, semoga kamu terjaga dalam busana syar’i ini.
Kamu pun smakin dekat padaku, sangat perhatian pada kami smua, tak pernah seingatku kamu tak datang menjengukku setiap kali aku sakit. Kamu selalu datang walau dalam kondisi sangat lelah.. Dik, kakak sangat bangga padamu.. Kamu semakin aktif, semua amanah yang diberikan mampu kamu kerjakan dengan penuh semangat. Bahkan, rasanya tanpa kamu, kami sangat kerepotan. Kami sangat sayang padamu dik.
Tak terasa 2 tahun kebersamaan kita…. Aku lulus, dan harus meninggalkan kampus kita tercinta, meninggalkan rohis MPM KARAMAH (Mahasiswa Pencinta -Mushallah Kerukunan Remaja Mushallah Aliyah) yang kami rintis dari awal dengan penuh perjuangan, akhwat-akhwatku, adik-adik mentorku, perjuangan kami. Aku harus meninggalkan mereka semua.
Termasuk kamu dik. Kamu menangis, kamu meminta kami agar tak meninggalkan kalian. Yah, kami berjanji akan lebih sering mengunjungi. Tak akan berhenti memperhatikanmu dan yang lain. Tapi, ternyata….
Semua hanya janji, kami masuk dalam lingkungan kampus, yang kesibukannya menumpuk, terlebih aku mengambil fakultas paling sibuk di antara semua fakultas yang ada… Aku tak menepati janji, aku ingkar padamu dik. Allah, ampuni aku…
Aku melupakanmu, aku mulai sibuk di lembaga dakwah kampusku, yang juga meminta perhatian yang sangat besar. Kuliah-kuliahku, lab-labku yang membuatku tak punya waktu untuk yang lain, termasuk padamu. Aku mulai melupakanmu, tapi kamu sering sekali menelponku.
Yah…telpon-telponmu dik.. .Allah, jika mengingat ini, sungguh penyesalanku seakan tak ada habisnya. Kamu begitu sering menelponku, menceritakan semua keadaan di SMU kita, tentang keluargamu yang semakin menentangmu, tentang saudaramu yang sangat membencimu, tentang tidak adanya orang yang mau mendengarkan seluruh keluh kesahmu.
Bahkan terkadang, kamu meneleponku sampai dua jam. Dan aku yang begitu egois, mulai bosan dengan semua keluhanmu. Aku yang terkadang begitu lelah dengan rutinitasku, yang hanya mencuri waktu untuk istirahat, juga harus terganggu dengan teleponmu. Ampuni hamba ya Allah…, aku mulai menghindarimu, tak ku jawab telepon-teleponmu, tapi kamu sekalipun tidak marah. Ya Allah…
Suatu hari, kamu datang ke rumah dengan wajah letih, tak ku temukan keceriaan itu lagi. Ada yang aneh pada dirimu dik, aku sangat terkejut melihatnya…
Wajahmu yang dulu penuh semangat dan selalu dihiasi senyum,keceriaan, yang biasanya mampu mengobarkan semangat orang-orang di sekitarmu. Kini kamu begitu berbeda, wajahmu begitu pucat, loyo, tanpa semangat hidup seperti dulu.
Tubuhmu dik…, Allah… ada apa dengan dirimu dik ? dulu kamu begitu gemuk menggemaskan, dengan pipi tembem yang sangat lucu hingga matamu yang sipit akan semakin kecil saat dirimu tersenyum. Dulu kami (akhwat-akwhat) di rohis sering menyebutmu “Roti donatku” dan kamu akan membalasnya dengan wajah cemberut, yang kemudian diikuti dengan merajuk… tapi kini, kamu sangat kurus dik… sakit kah dirimu ? ini memang pertemuan pertama kita setelah aku lulus, selama ini kita hanya berkomunikasi melalu telepon..
Dulu setiap kali kita berkumpul kamu akan menceritakan semua pengalamanmu padaku, bibirmu akan terus berceloteh tanpa henti, dengan riang dan semangat… aku selalu menjadi pendengar setiamu… tapi kini kamu hanya diam membisu, tercenung tanpa berkata apa-apa….
Saat ku tanya kamu dari mana ? kamu hanya menjawab dengan singkat bahwa kamu hanya kebetulan lewat setelah pulang tarbiyah… lalu selebihnya kamu hanya diam… Dik, tahukah kau, betapa banyak yang ingin ku tanyakan kepadamu? tapi aku tak ingin menambah penatmu dengan pertanyaan-pertanyaanku. Jadi ku biarkan saja kamu dalam diammu… hingga akhirnya kamu tertidur… Aku menatap wajahmu yang teduh dalam tidurmu… dik, sebenarnya apa yang terjadi denganmu ?
Lalu kamu pun pamit, pergi tanpa sedikitpun cerita sebagaimana lazimnya….
Aku kembali dalam duniaku, Kuliahku, labku, amanah dakwahku… Dan.. Ya Rabb, aku kembali melupakanmu dik, hingga kemudian aku menerima sebuah telepon dari temanmu, “Kak, Diana sakit, sudah 1 minggu dia tidak masuk sekolah, kayaknya parah, kalau bisa kakak sempatkan waktu untuk menjenguknya, dia selalu menanyakan kakak dan akhwat-akhwat yang lain.” aku tercenung di ujung telepon, tak tahu harus berbuat apa..
Saat aku dan akhwat-akhwat lain tiba di rumahmu, segera kami ke kamarmu, kamar sempit yang pengap. Hatiku miris…, aku baru kali ini ke rumahmu dik. Rabb, aku baru menyadari betapa aku tidak memperhatikan saudaraku yang memberiku parhatian luar biasa selama ini. Hatiku perih melihat keadaanmu, tubuhmu begitu kurus seperti seonggok tulang berselimut kulit, aku bahkan tak mampu mengenalimu, tubuhku bergetar, dadaku sesak menahan tangis, air mataku jatuh tak mampu ku bendung..
Aku mendekatimu, kamu berusaha tersenyum tapi yang ku lihat adalah ringisan menahan sakit. Aku mencoba menahan perasaanku. Aku memelukmu, mencium keningmu, akhwat yang lain pun melakukan yang sama… kamu tersenyum, mencoba menggapai tanganmu, ku raih dan ku genggam tangan kurusmu… ku mencoba menghiburmu dengan berbagai cerita lucu, kamu tertawa, akwat-akhwat pun tertawa, tapi aku menangis di sini. Di lubuk hati terdalamku, meratapi keacuhanku…,Ketika ingin pamit, kau ingin menahanku, maafkan kakak dik, harusnya dulu aku menemanimu lebih lama dalam kesakitanmu…
Aku mencoba bertanya pada ibumu kenapa kamu tidak dibawa ke Rumah Sakit, dan kembali ku temukan jawaban yang menghempaskan perasaanku hingga hancur berkeping-keping, kau menderita kanker kelenjar getah bening. Dan karena ekonomi, tak punya biaya, kamu hanya di bawa ke puskesmas. Kamu sudah pernah dibawa ke RS tapi di keluarkan karena tak punya biaya…
Rabbana, apa gunaku selama ini, inikah ukhuwah yang aku dengang-dengunkan selama ini? inikah ikatan persaudaraan bagai satu tubuh yang selalu aku ikrarkan dalam setiap majelis yang aku bawakan? inikah kasih sayang yang aku serukan? Tidak, aku harus melakukan sesuatu untukmu dik… Saat itu segera aku bertanya krpada kakakku, dan katanya aku harus mengambil surat keterangan tidak mampu untukmu agar kamu dapat segera di rawat secara gratis…Tunggu aku, aku akan berusaha… ku bisikkan padamu bahwa aku pasti kembali…
Aku kembali menjengukmu dik bersama hilda dan uphi serta beberapa akhwat lain. Aku belum berhasil menyelesaikan urusan surat miskin itu, ternyata harus dengan berbagai macam prosedur, tapi aku akan berusaha dik…Kali ini kondisimu semakin memburuk. Aku memelukmu dan dan kamu berkata “Ini kakak yang cengeng itu yah?” kamu tersenyum.. Aku terperanjat, Rabbana… Dik apa kamu sekarang tidak bisa melihatku ? kamu tersenyum dan berkata, “Kak, afwan kalo bicara suaranya di kencengin yah, aku sudah tidak bisa melihat dan mendengar lagi.”
Tubuhku bergetar, aku tahu wajahku pucat pasi saat itu, aku pun tak bisa membendung tumpahnya air mataku, aku menangis. Para akhwat menarikku menjauh darimu. Dalam pelukan akwat, aku tumpahkan segala rasaku, sedihku, penyesalanku, dan ketakutanku… aku takut kau tak mampu bertahan dik… sungguh aku sangat takut kehilanganmu.
Tiba-tiba kamu tidak sadarkan diri, tak lama kemudian kamu siuman lagi, begitu seterusnya…
Allah, kurasakan aroma sakaratul maut semakin dekat di ruangan ini… ku raih tangan ringkihmu.. inilah tangan yang dulu sering memelukku dari belakang, menutup mataku dan menyuruhku menebak siapa dia, dan tentu saja aku tahu, tak ada tangan yang segemuk punyamu dik, saat aku menjawab, “Pasti si roti donat” kamu tertawa… tapi kini tangan itu tak mampu bergerak lagi… Aku usap air mata di pipimu dik, kamu menangis, apakah kamu merindukanku, merindukan kami saudaramu, yang telah melupakanmu ? sudihkah kau memaafkan kami dik ?
Aku mendekatkan bibirku ke telingamu, aku tak tahu apakah saat itu kau sadar atau tidak. Aku bisikkan kalimatullah. Aku menuntunmu menyebut nama-Nya “Laa Ilaaha illallaah…laa Ilaaha illallah…” bibirmu bergerak dan aku mendengarmu berkata “Allah…Allah..” Rabbana inikah sakaratul maut… sesakit inikah…??? Ya Rabbal izzati… Allahummagfirlahu, Allahummarhamhu… Ampunilah dia, Rahmatilah dia…Aku baru selesai shalat subuh, yang kemudian aku lanjutkan dengan Al-Ma’tsurat dzikir pagi. Hari ini aku berencana mengambil surat keterangan miskin untukmu, yang dijanjikan selesai hari ini, aku sangat bersemangat.
Kamu akan segera di rawat dik. Saat baru saja aku hendak mandi, telepon berbunyi, ternyata dari ukhti Uni, mungkin dia mengajak menjengukmu lagi, tentu saja aku mau, tapi aku salah, berita yang aku terima sungguh sangat membuatku terguncang.. “Ukhti, adik kita Diana… Innalillahi wa innailaihi Rojiun”
Aku tak mau berburuk sangka ” Uni, kamu ngomong apa sih ? ada apa ? ngomongnya jangan nangis gitu dong…?” kataku mencoba menenangkan diri .
“Diana ukh, dia sudah nggak ada, dia meninggal tadi malam jam 01.00, kita doakan yah.. nanti kita sama-sama melayat ke rumahnya” Rabbana… aku terdiam, tak mampu berkata-kata, serasa ada benjolan besar di tenggorokanku yang siap meledak, aku terdiam, tak ku hiraukan uni yang terus memanggilku dan terus menyuruhku bersabar.. aku terduduk.. menangis.. aku tumpahkan segala kesedihanku, penyesalanku, keacuhanku, ketakpedulianku, keegoisanku…
Wajahmu terus berkelabat dalam benakku, senyummu, tawamu, manjamu, semangatmu… aku terus menangis…
Baru saja jenazahmu di bawa dari rumahmu. Ibumu sejak tadi tak sadarkan diri. Kakakmu yang kamu bilang membencimu ternyata sangat mencintaimu, dia yang merawatmu selama kamu sakit. Dik, begitu banyak orang yang datang melayatmu, menghantar jenazahmu, mensholatimu.. .aku hanya bisa diam menatap iringan membawamu ke tempat pembaringanmu meninggalkan kami…
Dik, kakak tak mampu menemanimu lagi seperti dulu, tak akan ada lagi telepon-teleponmu dan smsmu yang kini dan hingga kini ku rindukan dan selalu ku nanti tapi aku tahu hanya akan berbalas kesedihan. Tak ada lagi coklat-coklat kejutan rasa cintamu pada kami… Tak ada lagi cerita-ceritamu tentang masalah-masalahmu yang kini dan hingga kini selalu ku nantikan dan ku tahu hanya berbalas kecewa.
Dik, maafkan kakak, Semoga kau tenang disana, semoga kau dapat menahan himpitan kubur yang kita semua akan merasakannya. Rabbana… Lapangkanlah kuburnya, terangilah dengan cahaya-Mu, jauhkanlah dia dari adzab kubur… Bukakanlah pintu jannah-Mu, sungguh dia adalah mujahidah-Mu, dia adalah tentara yang memperjuangkan agama-Mu..
Ku tahu saat ini begitu banyak dari kami menangisi kepergianmu mujahidah, namun aku pun yakin, ribuan penduduk langit bersorak menyambut kedatanganmu dan ribuan malaikat menaungimu dalam hamparan sayapnya… dalam kedamaian di sisi Rabbmu… Pergilah adikku… kakak ridho..
“Kak, apa aku juga bisa disebut mujahidah ? aku kan tidak berperang” …tertawa…
“Tentu saja dik, setiap orang yang memperjuangkan agama Allah dan mati dalam keyakinan pada-Nya adalah seorang mujahid-mujahidah.” …
“Kak, aku mau berjilbab lebar seperti kakak, pantas nggak yah? aku kan gendut…?” …katamu tersenyum malu…
“Kau akan sangat cantik dengan busana syar’i dik, masih adakah yang lebih penting dari kecantikan di mata Allah…?”
….Kau tertawa…
“Aku mauuuuu cantiiik di mata Allah…” …Tertawa riang….
*** Untuk adikku Diana tenanglah disana, dalam perlindunganNya, tak akan ada yang mampu menyakitimu dik…” ****
Barakallahufikum ....
... Semoga tulisan ini dapat membuka pintu hati kita yang telah lama terkunci ...
''Renungan Kisah Inspiratif Muslimah''
Posting Komentar